Cerpen : Mepek Kemili
Oleh : Susi Susanti
Pek..pek..pek.. , suara pemecah kemiri tak berhenti beradu dengan
kerasnya batu, dengan semangat Inen semah terus memecahkan kemiri untuk memisahkan butir-butir kemiri
dari kulit cangkangnya. Suara pecahan kemiri sahut bersahut juga terdengar dari
rumah tetangga inen semah.
Sudah menjadi kebiasaan warga setempat
melakukan kegiatan memisahkan kemiri dari cangkang kerasnya. Proses ini lebih
dikenal dengan “mepek kemili”.
Begitu juga dengan Inen semah, hari itu dia melakukan
proses mepek kemili yang sebelumnya telah di jemur selama 6 hari. Kala terik
matahari memang biasanya di jemur selama tiga hari. Namun jika musim hujan mengeringkan
kemiri bisa melebihi dari batas waktu seperti biasanya . Namun Inen Semah tak
pernah menyalahkan alam, dia terus berusaha mencari nafkah dari kemirinya.
Kemiri bagi Inen semah bak butiran mutiara putih yang akan
menghasilkan rupiah bagi kebutuhan keluarganya. Kala musim buah kemiri, Inen semah akan sangat
senang karna dapat mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membeli kebutuhan
sehari-hari keluarganya.
Pagi hari saat cuaca sangat dingin dan
matahari pun seakan enggan memperlihatkan sinarnya,Inen semah mempersiapkan diri menuju
kebun kemirinya, berbekal sebuah keranjang, sebilah parang dan beberapa goni, Inen semah
menuju kebun dengan langkah kaki begitu semangatnya.
Satu persatu buah kemiri di kumpulkan lalu dia
mengupas kulitnya. Tak terasa Inen semah sudah beberapa jam di kebunnya. Jam sudah menunjukan pukul
10.00 WIB namun mentari belum juga muncul, Inen semah lalu melanjutkan
pekerjaannya, namun sedang asiknya mengumpulkan kemiri yang terdiri dari beberapa pohon kemiri terdengar
bunyi gelegar yang mengagetkan inen semah di susul dengan rintikan hujan, lalu
Inen semah berlari mencari tempat untuk berteduh yang dalam bahasa gayo di
sebut “Jamur”. Inen semah melepaskan lelahnya di jamur yang dia buat beberapa
bulan lalu. Sambil memandangi rintikan-rintikan hujan yang semakin membahasi
bumi.
Hujan belum juga reda, padahal sudah masuk
waktu zuhur. Inen semah pun bergegas mengambil wudhu’. Dia mengambil sebilah
daun pisang dan menuju sungai kecil tak jauh dari kebunnya.
Dalam tengadah tangannya terbesit seuntai do’a
bahwa dia menginginkan hujan yang sedang turun bias membawa berkah bagi bumi dimana dia berpijak.
Dan berharap rezeki bisa mengalir dari butir-butir putih bak mutiara yang sedang di carinya.

Selang beberapa jam hujan pun berhenti, dan
karna hari sudah sore Inen Semah pun bergegas untuk pulang dan membawa kemiri
yang dia cari. Tidak banyak kemiri yang didapat hari ini namun Inen semah tetap
bersyukur karena walaupun kemiri yang didapat sedikit namun masih bisa membuat
asap mengepul dari dapurnya.
Malam harinya Inen semah merasa resah, hujan
semakin lebat dan suara gelegar pun menambah cekamnya suasana. Inen semah
mencoba memejamkan mata walau sulit tapi akhirnya dia bisa memejamkan mata dan
tertidur dengan lelapnya.
Subuh hari, di pedesaan tempat Inen semah tinggal
terdengar bisik-bisik warga menceritakan tentang derasnya hujan semalam, dan salah
satu warga mengatakan bahwa banyak titik-titik longsor dan banjir terjadi di
kebun penduduk. Salah satu kebun yang terkena longsor adalah Kebun kemiri milik
Inen Semah.
Inen semah pun bergegas menuju kebunnya.
Sesampainya di kebun Inen semah sangat sedih memandangi kebunnya. Kebun yang dulu di tumbuhi
pohon-pohon kemiri yang berdiri dengan kekarnya kini telah tumbang di terpa
tanah dan air serta akar-akar pohon besar bekas banjir semalam.
Pikiran pun berkecamuk dalam pikiran Inen
semah dia terus memikirkan kebunnya, memikirkan bagaimana nanti dia memperoleh
rupiah untuk membeli kebutuhan keluarganya. Namun akhirnya Inen semah sadar,
pasti ada hikmah dibalik semua kejadian. Dia mengkhilaskan yang terjadi pada
hari ini.
Sudah beberapa hari
tidak terdengar lagi suara khas mepek kemili dari
rumah Inen semah. Batu yang biasanya dipakai untuk memecahkan kemiri sudah
diletakkan di pojok rumah bersama alat pemecah kemiri. Hanya harapan yang tinggal di benak Inen semah
semoga kebunnya bisa kembali bersih dan kembali menjadi ladang rupiah bagi
keluarganya.
Ditempat lain,
seorang pria bertubuh kekar dengan kulit hitam sedang menjual kayu-kayu hasil
dari pohon yang di tebangannya. Dia pun menghitung rupiah-rupiah yang
didapatkannya dan memandangi hutan dan tersenyum seakan penuh kemenangan karena
telah mengumpulkan banyak rupiah dengan merambah hutan dan menebang pohon
penyangga tanah nun jauh di tengah hutan sana.
TAMAT
Cerita ini hanya
fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, kejadian dan tempat hanya
bersifat kebetulan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar