Senin, 25 Agustus 2014

Bejamu Saman, seni tradisi perekat silaturahmi

Saman adalah salah satu kesenian yang berkembang di daerah Gayo yang dilakoni oleh laki-laki pada acara-acara tertentu. Banyak manfaat yang didapat melalui saman bagi masyarakat Gayo. Salah satunya adalah pertunjukan saman yang dilakukan pada saat ”bejamu saman” yang sudah menjadi tradisi masyarakat Gayo secara turun temurun.

Bejamu saman adalah salah satu tradisi yang berkembang di masyarakat Gayo. Khususnya pada Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Lukup Serbajadi.

Biasanya waktu yang dipilih untuk melakukan kegiatan ini yaitu pada saat setelah hari-hari besar seperti setelah Hari Raya Idul Fitri, setelah Hari Raya Idul Adha, dan setelah melakukan panen padi.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempererat silaturahmi antara warga satu kampung dengan kampung lain. Karena pada saat melakukan bejamu saman sebujang dan orang tua laki-laki akan mendapatkan serinen (sahabat.red).

Waktu yang dilakukan dalam bejamu saman biasanya dua hari dua malam (saman roa lo roa ingi) dan satu hari satu malam (saman sara lo sara ingi).

Awal dari kegiatan ini biasanya bermula dari perbincangan seberu sebujang di suatu kampung. Kemudian keinginan besaman ini disampaikan kepada tokoh masyarakat yang ada di kampung tersebut melalui mufakat. Jika sudah di dapat kata sepakat maka hal ini disampaikan kepada seluruh sebujang gayo, dan biasanya mereka langsung melakukan latihan saman untuk menyambut kedatangan serinen mereka.

Sembari latihan, ada beberapa pemuda yang ditunjuk untuk mencari ketersediaan suatu kampung untuk menjadi serinen mereka nantinya. Jika suatu kampung tidak menyetujui karena suatu alasan, maka pemuda tersebut langsung mencari Kampung lain. Setelah mendapatkan kesediaan dari suatu kampung maka dilakukan perjanjian dimana dalam perjanjian itu memuat kapan bejamu saman dilakukan, dan mendiskusikan hal-hal yang dirasa perlu.

Saat hari H, Kampung A akan melakukan penyambutan kepada kampung B yang hanya terdiri dari sebujang dan orang tua laki-laki saja. Biasanya penyambutan dengan melakukan didong alo dan pengalungan kalung bunga oleh gadis gayo kampung A kepada tokoh masyarakat Kampung B.

Setelah penyambutan maka seluruh tamu yang datang dibawa ke tempat bejamu saman yang biasa di sebut “bangsalan” yang sebelumnya telah dihiasi seberu sebujang gayo kampung A dengan Rerampe. Biasanya tempat yang dipilih adalah tempat yang luas karena biasanya pada saat bejamu saman, akan banyak datang penonton yang datang dari kampung lain.

Setelah itu, dilakukan pemilihan serinen. Biasanya sebujang A mendatangi sebujang B kemudian serinen mereka di bawa kerumah untuk dijamu dan diperkenalkan pada keluarga. Acara bejamu saman dilanjutkan dengan berkumpul kembali di bangsalan dan acara saman pun kemudian dilakukan yang biasanya pertama kali dilakukan oleh tuan rumah.

Saman ini, hampir sama dengan saman-saman lainnya yaitu dimulai dari salam kemudian memuat syair-syair yang dibawakan oleh penangkat saman. Pada saat saman, biasanya hal yang paling menghibur bagi penonton adalah gerakan tari saman dan sonek yang dilantunkan oleh pengangkat saman. Sonek adalah salah satu jenis sastra gayo yang biasanya berupa pantun, yang biasanya dibawakan setelah lagu pokok atau jangin. Dalam sonek ini, biasanya memuat tentang pesan, pujian, dan sindiran halus.
Setelah kampung yang menjadi tuan rumah melakukan saman, maka setelah itu kampung B melakukan saman juga. Dalam melakukan saman ini tidak ada penentuan siapa yang menang atau kalah.

Penilaian saman hanya dilakukan oleh dari masing-masing penonton saja. Dalam bejamu saman, tak lepas dari keikutsertaan seberu gayo (gadis gayo-red). Biasanya mereka melakukan tarian bines untuk menghibur orang tua dan sebujang dari kampung B. Dan biasanya mereka memanggil sebujang yang datang dengan sebutan “Dengan” atau sebaliknya. Dengan ini merupakan panggilan akrab antar warga Gayo berlawanan jenis.

Pada saat menarikan tarian bines, ada kegiatan yang disebut “najuk” yang merupakan kegiatan pemberian uang kepada seberu gayo yang sedang menarikan tarian bines oleh sebujang Kampung B. Biasanya najuk dilakukan kepada gadis gayo yang disukai atau karena Sonek yang dilantunkan gadis gayo tersebut.

Najuk dilakukan dengan menyelipkan uang pada lidi, kemudian lidi tersebut diselipkan pada sempol gadis gayo tersebut (Sempol adalah jenis Sanggul yang terdapat pada suku gayo). Namun setelah diberlakukannya syariat islam sempol sudah jarang digunakan. Biasanya penari bines memakai jilbab yang dimodifikasi seperti sempol. Bines dilakukan beberapa kali, dan pada saat penampilan bines terakhir. Acara Najuk dilakukan dan diganti dengan bunga yang terselip dikepala gadis tersebut.

Setelah acara bines maupun saman telah selesai. Maka ada acara pembagian selpah dari masing-masing serinen. Selpah adalah pemberian dari serinen kampung A kepada kampung B yang didapat dari masing-masing serinen mereka. Dan ada juga selpah yang diberikan oleh seberu sebujang A yang ditujukan kepada seeberu sebujang di kampung B.

Biasanya selpah berupa makanan khas gayo. Namun seiring waktu berjalan selpah tidak hanya memuat makanan khas gayo akan tetapi bisa juga makanan lain yang diberikan untuk keluarga yang ada dikampung B. Setelah selpah dibagikan, maka acara dilanjutkan dengan pidato dari tokoh masyarakat dan mengucapkan salam perpisahan yang kemudian dilanjutkan dengan acara salam-salaman antara kampung A dan Kampung B.
Selesai.

Pepatah Urum Cerak “Misel” Urang Gayo Tinggal Kenangen

BERBICARA soal sastra lisan, Suku gayo mempunyai banyak ragam sastra lisan termasuk diantaranya adalah sastra lisan berupa pepatah dan kalimat kiasan atau perumpamaan yang biasa disebut cerak misel yang menggambarkan jiwa masyarakat Gayo. Juga, menjadi identitas orang Gayo yang ikut memperkaya khasanah sastra dalam masyarakat Gayo yang merupakan warisan leluhur yang tak ternilai harganya..

Dalam kehidupan sehari –hari pepatah gayo dan cerak misel merupakan kata kata bijak yang bertujuan untuk menjelaskan suatu perkara. Biasanya dalam sebuah pepatah terkandung ajaran atau nasehat yang sangat dalam dan bijak, sehingga untuk mengungkapkan makna pepatah diperlukan ulasan yang panjang. Pepatah tidak seperti puisi yang dikenal siapa penulisnya, Walaupun makna pepatah gayo sangat tinggi, tetapi tidak begitu diketahui asal usulnya, Siapa yang pertama kali yang mengucapkan pepatah tersebut. Untuk memahami makna pepatah yang belum biasa didengar kadang juga tidak gampang, Karena makna Pepatah bisa samar dan tersembunyi. Justru disitulah letak keunikan pepatah dibandingkan dengan kalimat yang biasa.

Pepatah biasanya adalah ajaran tetua tentang kehidupan sehari hari yang di tuturkan secara turun temurun untuk penuntun hidup yang baik dan bijak, masyarakat yang masih kuat memegang adat, biasanya menjadikan pepatah gayo sebagai pedoman hidupnya. Tentu ini khasanah budaya yang luar biasa, dan sangat penting untuk dilestarikan, karna dengan semakin seringnya di tulis atau diucapkan yang dipergunakan dalam alat komunikasi untuk menyampaikan suatu misi, maka pepatah gayo tidak akan patah oleh perkembangan jaman. Terlebih lagi bila dipegang teguh makna pepatahnya. Masyarakat yang mengamalkan ajaran pepatah para tetua sama dengan melestarikan budaya dengan baik.Karena bagaimanapun setiap pesan yang bermakna akan jauh lebih berarti jika pesan itu di ikuti atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari.

Begitu juga dengan cerak misel merupakan kata kata perumpamaan yang dipakai untuk memberi rasa keindahan dan penekanan pada pentingnya hal yang disampaikan. Dengan cerak misel ini apabila kata kata yang akan disampaikan walaupun bersifat kritik yang tajam sekalipun, akan terasa lembut.

Dalam konteks kehidupan sekarang ini, pepatah gayo dan cerak misel sudah jarang digunakan.Padahal,kandungan maknanya sangat dalam dan indah,dan suatu tujuan, saran yang disampaikan akan dapat diterima oleh seseorang. Dan penggunaan pepatah dalam berbicara akan terkesan memberi kita gambaran tentang cara santun dalam berbahasa.

Sekarang timbul pertanyaan,Mengapa pepatah dan cerak bermingsel itu sudah luntur dan nge dabuh taring kenangen?  Itu dikarenakan keadaan kita sekarang ini tidak lagi sama dengan jaman-jaman tetua kita dahulu. Kita sekarang ini, diomongi secara keras dan kasar saja masih belum mengerti, apalagi dengan sindiran halus. Jaman sekarang penyampaian pesan sering menggunakan kata yang vulgar, langsung, tidak menggunakan perumpamaan, dan mengatakan bahwa cerak misel itu sulit dimengerti karena berbelit belit. Seperti yang terkandung dalam pepatah gayo ini “Urum lemut ko gi remang,Urum gersang ko gi nerime “.

Padahal dengan mempergunakan cerak misel dalam kehidupan sehari-hari seseorang akan terkesan santun dan berbudi pekerti. Sebagaimana para tetua kita mengajarkan kita untuk berbahasa yang baik dan sopan yang tersirat dalam pepatah berikut :

Remalan gelah bertungket
Becerak gelah berabun.

Semakin hari semakin banyak kekayaan budaya kita yang hilang dikarenakan sedikitnya  generasi penerus yang mau melestarikannya, memang tak dapat dipungkiri, banyak hal yang dapat meruntuhkan sastra lisan suku gayo termasuk salah satunya adalah karena pernikahan beda suku. Sugiyono, seorang pakar bahasa mengatakan “Urbanisasi dan perkawinan antar etnis merupakan penyebab utama terancam punahnya ratusan bahasa daerah. Karena kalau dua orang dari daerah kemudian pindah ke Ibukota atau ke kota besar maka mereka akan berinteraksi dengan etnis lain, lalu bahasa etnisnya sendiri itu akan ditinggalkan. Mereka akan memilih bahasa Indonesia sebagai penghubung antar etnik satu dengan etnik yang lain.”

Banyak hal yang dapat meruntuhkan cerak minsel tersebut, hal itu diperparah dengan banyaknya anak muda yang lebih senang menggunakan bahasa gaul. Padahal bahasa gaul ini, bagi sebagian orang sangat sukar dipahami artinya,karena menggunakan ejaan yang aneh. Tentu ini menjadi sesuatu yang amat memprihatinkan. Padahal penggunaan pepatah dan cerak misel dapat menjadi sarana yang efektif dalam menyampaikan suatu pesan baik berupa pujian, sanjungan, motivasi, sindiran dan bahkan keluh kesah sekalipun.

Sebelum Pepatah Gayo dan cerak bermisel itu hilang, ada baiknya kita sebagai generasi gayo mau melestarikannya.
Ike Ume kite melestarikan Kebudayaan Gayo, nta sahan mi?
Ike Gere silo kite bueten, Nta selohan mi?

Usaha yang mungkin dilakukan untuk mempertahankan pepatah gayo dan cerak bermisel dapat dilakukam dengan cara mempelajari, dan menimbulkan rasa senang,bahagia dan rasa ingin melestarikan budaya kita, dan terus berlatih, dan aplikasikan dalam kehidupan sehari hari misalnya dengan berkomunikasi antar anggota keluarga dan teman teman sehingga cerak misel itu tidak hilang dan ada baiknya,Untuk Pemerintah Gayo dapat memasukkan pembelajaran pepatah gayo dan cerak misel itu  dalam kurikulum sekolah.

Seberu Gayo

SEBERU GAYO

SEBERU (Gadis-red) Gayo adalah sebutan untuk para gadis di dataran tinggi Gayo, khususnya di Kabupaten Gayo Lues, sementara di Aceh Tengah dan Bener Meriah biasa disebut “beru” dan jika lebih dari satu orang disebut “beberu”.

Tata kehidupan masyarakat Gayo hampir sama dengan suku-suku bangsa lain di Indonesia dan Melayu umumnya yang menganut ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dan adat suku Gayo sangat khusus memagari sikap atau tatakrama bergaul dan berkomunikasi untuk Seberu.

Pada dasarnya dalam budaya Gayo, Seberu dibekali dengan Peri Mestike (kata Petuah-red) diantaranya :

Remalan Gere Begerdak,
Mujangko Gere Munyintak,
Ike bebuet we si Galak,
Becerak Gere Sergak urum Mubak.

Dari petuah Gayo ini jelas menggambarkan bahwa gadis Gayo di tuntut untuk tidak bertingkah laku sesuka hatinya, mesti sopan santun, lemah lembut, tidak cerewet, memberi dengan keikhlasan, rajin melakukan pekerjaan sesuai kodratnya sebagai Seberu.

Seberu Gayo juga dituntut untuk belajar  mandiri dan hemat, karna nantinya akan menjadi istri dan ibu dalam sebuah keluarga sehingga otomatis harus bisa me-manage keuangan keluarga demi tercapai sebuah keinginan keluarga yang tertuang dalam Peri Mestike Gayo “Inget -inget tengah gilen kona, hemat jimet tengah ara”, maksudnya, berhati-hati sebelum sesuatu akan terjadi, dan berhemat selagi waktu ada.

Tindakan dan perbuatan yang hendak dilakukan harus di pikir lebih dahulu baik-baik tentang untung ruginya, dan begitu pula pada waktu seseorang memiliki harta benda supaya tidak memboroskannya, tetapi mengaturnya sedemikian rupa agar harta itu dapat dipergunakan untuk menyambung hidup. Karna suatu saat, ada sebagian Seberu Gayo setelah menikah nanti akan merasakan hidup “Jawe” yang berarti hidup berumah tangga tanpa adanya sangkutpaut lagi dengan orangtua ataupun mertua, kecuali dengan suaminya.
Seberu Gayo. (Foto : Khalis)

Seberu Gayo. (Foto : Khalis)

Setelah menjadi istri, Seberu Gayo juga diajarkan untuk bisa menjaga kehormatannya, hal ini tertuang dalam Peri Mestike Gayo “Beret ni malu atan batang ruang, Beret ni reje atan astana”, yang bermakna kehormatan dan wibawa seorang wanita berada dalam rumah tangga, sedangkan kehormatan dan wibawa Raja berada dalam istana.

Wanita itu dijunjung tinggi dan dimuliakan di rumah. Dalam arti lain bahwa wanita itu adalah mulia jika ia tidak suka bertandang secara berlebihan. Karena bertandang ke rumah orang lain dapat mempergunjingkan seseorang. Namun tidak berarti jika niatnya untuk silaturrahmi.

Selain itu, Seberu Gayo harus juga belajar untuk menjadi panutan dan tempat pelindung yang tertuang dalam Peri Mestika “Uren ipayungi, gelep isuluhi”, maksudnya memberikan perlindungan dan tuntunan kepada seseorang. Misalnya, terhadap anak yang tinggal dalam sebuah keluarga. la jangan dihardik, tetapi dilindungi dan tuntunlah anak itu ke jalan yang benar.

Namun dari semua sifat yang dijelaskan diatas, sifat berbakti kepada orang tua adalah sifat yang paling harus dilakukan oleh Seberu Gayo. Sebagaimana yang diucapkan oleh tetua Gayo “Ike tunung ko kase ling ni jema tue, InsyaAllah langitmu gere mu gegur. Bumi mu gere mu guncang”.

Orang yang memperhatikan dengan cermat ayat Al-Quran maupun hadits akan mendapati begitu banyaknya dalil yang menjelaskan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh perempuan khususnya oleh Seberu Gayo dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun hubungannya dengan orang lain.

Semua nasehat tersebut akan memberikan rambu-rambu yang mengantarkan pada kehidupan yang terarah dan seimbang. Sehingga Seberu Gayo mendapatkan kepribadiannya yang istimewa. Kepribadian yang sejalan dengan fitrahnya sebagai Seberu Gayo. Sehingga melahirkan Seberu Gayo yang unggul, mulia dan istimewa dalam perasaan, pemikiran, prilaku dan hubungan yang baik dengan orang lain.

Semoga kedepannya kita bisa belajar menjadi Seberu Gayo seperti Petuah Tetua kita. menjadi Seberu yang tidak lupa terhadap adat yang diajarkan dan senantiasa mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari- hari sebagaimana kata Tetua “Edet Mungenal Hukum Mubeza, Kuet Edet Muperala Agama”.