Jumat, 07 November 2014

Tradisi rapat pemili gayo

pasphoto_副本.jpgTradisi “Rapat pemili” di daerah Gayo
Oleh Susi Susanti S.Sos
Tradisi Rapat pemili (Rapat famili) adalah sebuah tradisi yang berkembang di daerah Gayo yaitu terdisi saling membantu untuk meringankan biaya dalam penyelenggaraan pesta dengan didasari musyawarah antar keluarga dan antara seluruh ahli famili atau sanak saudara.
Tradisi Rapat pemili biasanya dilakukan dengan memberi bantuan kepada saudara yang melakukan pesta tertentu dan suatu saat pemberian itu akan diganti jika yang memberi akan mengadakan acara juga.
Acara yang melakukan rapat pemili dalam tradisi Gayo yaitu pada saat diadakannya Sinte Murip. Adapun yang termasuk Sinte murip yang biasanya mengadakan rapat pemili dalam suku Gayo adalah :
1.      Sinte mungerje atau pesta pernikahan
2.      Sunat Rasul
Namun pada sinte mungerje, umumnya yang melakukan rapat pemili adalah pada pihak laki-laki pada saat sebelum melakukan resepsi pernikahanya.
Beberapa tahun terakhir rapat pemili tidak hanya diadakan untuk menyambut sinte murip saja. Tradisi ini berkembang untuk membantu sesama seperti pada saat seorang akan membangun rumah dan pada saat seorang anak akan melakukan wisuda (namun masih beberapa tempat atau kampung yang mengadakan rapat pemili untuk wisuda).
Proses rapat pemili ini yaitu dengan mengundang seluruh keluarga dan sanak saudara, serta tetangga. Kemudian salah satu tokoh masyarakat atau yang mengadakan rapat pemili tersebut mengatakan kepada para undangan tentang maksud dan tujuan diadakannya rapat pemili, setelah itu yang berhadir memberi uang seikhlas hati untuk kelancaran proses acara yang diadakan. Kemudian tuan rumah mencatat siapa-siapa saja yang memberi uang dan jumlah uangnya. Agar suatu saat pada saat yang melaksanakan sinte murip bisa diketahui berapa jumlah yang harus diganti. Biasanya diganti sesuai dengan pemberian orang tersebut atau melebihi dari yang pernah diberi.
Lain halnya dengan rapat pemili wisuda, biasanya undangannya berupa amplop yang berisi tulisan “undangan rapat pemili wisuda si polan anak si fulan” kemudian pada saat rapat pemili diadakan uang yang diberi sudah di letakkan di amplop tersebut dan diberikan kepada tuan rumah.
Tidak ada pembedaan antara si kaya dan si miskin dalam melakukan rapat pemili sehingga dalam rapat pemili ada tersirat nilai hablum minannas dalam pelaksanaannya.
M.Hasyim, seorang mukim Gumpang Raya menyebutkan bahwa rapat pemili ini telah banyak membantu sesama di daerah-daerah Gayo khususnya di daerah desa Gumpang karena pada umumnya pekerjaan orang di daerah tersebut adalah petani sehingga pada saat orang yang melakukan acara dengan biaya yang besar rapat pemili adalah solusinya terlebih untuk rapat pemili wisuda karena masih beberapa daerah yang melaksanakan rapat wisuda atau rapat pemili dalam membantu biaya pendidikan lainnya.
Banyak manfaat yang didapat dari rapat pemili ini. Karena dapat menolong sesama dalam meringankan biaya saudara kita yang lain. Seperti yang tertera pada firman Allah :
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al Maidah: 2).
Seperti halnya dalam Islam, adat suku gayo tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, akan tetapi hubungan manusia dengan sesama manusia itu sendiri. Oleh karena itu banyak adat yang mengatur tentang bagaimana mengatur kehidupan dalam menjalankan kehidupan di dunia seperti halnya dengan pepatah “Alang tulung berat bebantu” yaitu salah satu petuah bahwa dalam kehidupan kita harus saling membantu yang masih dipegang teguh oleh masyarakat suku Gayo.

sebuku ken si memude

Sebuku ken si memude

                                    Oleh : Susi Susanti

Ngiku.. Enti olok tu tunung galak ni ate,
Dele len harapen si turah I jangko,
Ngiku... Enti olok tu tunung galak ni ate,
I engon ko mi kul ni ate jema tue,

I tangon ne kao sekolah,
Kati puren mujadi jema si mupaedah,
Alak I baju nge remo basah,
Uten si lues raharih I rukah,
Demi ken anak e kati puren enti we kire susah,

Ngiku... Enti olok tu tunung galak ni ate,
Gijen tamat nge niro minah gergel tete,
Agak mu temas ke minah batang ruang,
Gere le temas minah gergel tete,
Ike tengah sekulah enti mi dele unang,
Gelah pane munimang ate

Gumpang, 10 agustus 2014

curcol "bise pak gecik"

Alhamdulillah akhirnya nyampek juga di medan. Walaupun perjalanan banyak rintangan, mulai di tinggal mobil, di oper ke bus lain, di dalam bus rupanya isinya cowok semua. Anti sama asap rokok rupanya isi penumpang bus perokok semua. Sampai di jeret onom bus lengket sampai beberapa menit di coba akhirnya bisa jalan, bus pun kembali melaju dan sampai di marpunge bus berhenti karna perbatasan longsor lagi,akhirnya kami memutuskan untuk berhenti dan berlanjut nerahi sudere
Jam 10 aku memutuskan tidur disalah satu rumah teman yg kebetulan bus berhenti tepat di depan rumahnya, jam 1 malam kami dibangunkan karna akan berangkat, tapi dibatalkan lagi krna ternyata kendaraan roda 4 tak bisa lewat. Aku kembali ke kamar untuk tidur. Jam 2 malam dibangunkan lagi untuk berangkat dan kami pun segera menaiki bus bersama puluhan bus di depan dan belakang kami.
Setelah bus hendak melewati perbatasan rupanya berita bohong klo roda 4 bisa lewat. Kami pun menunggu beberapa menit dan akhirnya supir kami memutuskan untuk kembali tidur di marpunge.namun supir memberhentikan mobilnya agak jauh dari rumah teman ku..semua penumpang kemudian tertidur di bus, aku merasa tak nyaman tidur di bus karna aku cewek sendiri. Kukumpulkan keberanian dan berlari di tengah gelap gulita menuju rumah teman ku. Walaupun merasa tak enak mengetuk pintu si tengah malam aku tak peduli lagi.
Akhirnya sampai pagi aku tidur di rumah teman dengan lelapnya.
Kamis pagi, kami melanjutkan perjalanan. Bus kami lah yang paling lama berangkat dan mencoba melewati jalan yªnğ telah menjadi sungai yg penuh bebatuan, yup kami berhasil melewatinya.. Tidak sampai disini hambatan perjalan ini. Sesampainya di simpur kami harus bermacet lagi. Karna ada titik longsor disana.. Setelah di bantu oleh pemuda setempat akhirnya kami bisa lewat juga. Bus pun melaju menuju medan dan sesampainya di tiga binanga kami pun mengisi perut yg sudah keroncongan, setelah selesai makan siang kami melanjutkan perjalanan, dan ternyata kami harus merasakan bermacet ria lagi. Kali ini ada apa ??? Dan ternyata ada sebuah Truck terbalik di tengah jalan. Dan hanya sedikit badan jalan yg tersisa.. Namun akhirnya kami bisa lewat dengan waktu tempuh 24 jam dan sampai di medan dengan selamat walaupun harus mengatakan HEEEEKKKK SILONI PAKK GECIIIIIKKK

kemiri



Cerpen : Mepek Kemili

Oleh : Susi Susanti
Pek..pek..pek.. , suara pemecah kemiri tak berhenti beradu dengan kerasnya batu, dengan semangat Inen semah terus memecahkan kemiri untuk memisahkan butir-butir kemiri dari kulit cangkangnya. Suara pecahan kemiri sahut bersahut juga terdengar dari rumah tetangga inen semah.
Sudah menjadi kebiasaan warga setempat melakukan kegiatan memisahkan kemiri dari cangkang kerasnya. Proses ini lebih dikenal dengan “mepek kemili”.
Begitu juga dengan Inen semah, hari itu dia melakukan proses mepek kemili yang sebelumnya telah di jemur selama 6 hari. Kala terik matahari memang biasanya di jemur selama tiga hari. Namun jika musim hujan mengeringkan kemiri bisa melebihi dari batas waktu seperti biasanya . Namun Inen Semah tak pernah menyalahkan alam, dia terus berusaha mencari nafkah dari kemirinya.
Kemiri bagi Inen semah bak butiran mutiara putih yang akan menghasilkan rupiah bagi kebutuhan keluarganya. Kala musim buah kemiri, Inen semah akan sangat senang karna dapat mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membeli kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Pagi hari saat cuaca sangat dingin dan matahari pun seakan enggan memperlihatkan sinarnya,Inen semah mempersiapkan diri menuju kebun kemirinya, berbekal sebuah keranjang, sebilah parang dan beberapa goni, Inen semah menuju kebun dengan langkah kaki begitu semangatnya.
Satu persatu buah kemiri di kumpulkan lalu dia mengupas kulitnya. Tak terasa Inen semah sudah beberapa jam di kebunnya. Jam sudah menunjukan pukul 10.00 WIB namun mentari belum juga muncul, Inen semah lalu melanjutkan pekerjaannya, namun sedang asiknya mengumpulkan kemiri yang  terdiri dari beberapa pohon kemiri terdengar bunyi gelegar yang mengagetkan inen semah di susul dengan rintikan hujan, lalu Inen semah berlari mencari tempat untuk berteduh yang dalam bahasa gayo di sebut “Jamur”. Inen semah melepaskan lelahnya di jamur yang dia buat beberapa bulan lalu. Sambil memandangi rintikan-rintikan hujan yang semakin membahasi bumi.
Hujan belum juga reda, padahal sudah masuk waktu zuhur. Inen semah pun bergegas mengambil wudhu’. Dia mengambil sebilah daun pisang dan menuju sungai kecil tak jauh dari kebunnya.
Dalam tengadah tangannya terbesit seuntai do’a bahwa dia menginginkan hujan yang sedang turun bias membawa berkah bagi bumi dimana dia berpijak. Dan berharap rezeki bisa mengalir dari butir-butir putih bak mutiara yang  sedang di carinya.

Selang beberapa jam hujan pun berhenti, dan karna hari sudah sore Inen Semah pun bergegas untuk pulang dan membawa kemiri yang dia cari. Tidak banyak kemiri yang didapat hari ini namun Inen semah tetap bersyukur karena walaupun kemiri yang didapat sedikit namun masih bisa membuat asap mengepul dari dapurnya.
Malam harinya Inen semah merasa resah, hujan semakin lebat dan suara gelegar pun menambah cekamnya suasana. Inen semah mencoba memejamkan mata walau sulit tapi akhirnya dia bisa memejamkan mata dan tertidur dengan lelapnya.
Subuh hari, di pedesaan tempat Inen semah tinggal terdengar bisik-bisik warga menceritakan tentang derasnya hujan semalam, dan salah satu warga mengatakan bahwa banyak titik-titik longsor dan banjir terjadi di kebun penduduk. Salah satu kebun yang terkena longsor adalah Kebun kemiri milik Inen Semah.
Inen semah pun bergegas menuju kebunnya. Sesampainya di kebun Inen semah sangat sedih memandangi kebunnya. Kebun yang dulu di tumbuhi pohon-pohon kemiri yang berdiri dengan kekarnya kini telah tumbang di terpa tanah dan air serta akar-akar pohon besar bekas banjir semalam.
Pikiran pun berkecamuk dalam pikiran Inen semah dia terus memikirkan kebunnya, memikirkan bagaimana nanti dia memperoleh rupiah untuk membeli kebutuhan keluarganya. Namun akhirnya Inen semah sadar, pasti ada hikmah dibalik semua kejadian. Dia mengkhilaskan yang terjadi pada hari ini.
Sudah beberapa hari tidak terdengar lagi suara khas mepek kemili dari rumah Inen semah. Batu yang biasanya dipakai untuk memecahkan kemiri sudah diletakkan di pojok rumah bersama alat pemecah kemiri. Hanya harapan yang tinggal di benak Inen semah semoga kebunnya bisa kembali bersih dan kembali menjadi ladang rupiah bagi keluarganya.
Ditempat lain, seorang pria bertubuh kekar dengan kulit hitam sedang menjual kayu-kayu hasil dari pohon yang di tebangannya. Dia pun menghitung rupiah-rupiah yang didapatkannya dan memandangi hutan dan tersenyum seakan penuh kemenangan karena telah mengumpulkan banyak rupiah dengan merambah hutan dan menebang pohon penyangga tanah nun jauh di tengah hutan sana.
TAMAT

Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, kejadian dan tempat hanya bersifat kebetulan saja.