Jumat, 07 November 2014

Tradisi rapat pemili gayo

pasphoto_副本.jpgTradisi “Rapat pemili” di daerah Gayo
Oleh Susi Susanti S.Sos
Tradisi Rapat pemili (Rapat famili) adalah sebuah tradisi yang berkembang di daerah Gayo yaitu terdisi saling membantu untuk meringankan biaya dalam penyelenggaraan pesta dengan didasari musyawarah antar keluarga dan antara seluruh ahli famili atau sanak saudara.
Tradisi Rapat pemili biasanya dilakukan dengan memberi bantuan kepada saudara yang melakukan pesta tertentu dan suatu saat pemberian itu akan diganti jika yang memberi akan mengadakan acara juga.
Acara yang melakukan rapat pemili dalam tradisi Gayo yaitu pada saat diadakannya Sinte Murip. Adapun yang termasuk Sinte murip yang biasanya mengadakan rapat pemili dalam suku Gayo adalah :
1.      Sinte mungerje atau pesta pernikahan
2.      Sunat Rasul
Namun pada sinte mungerje, umumnya yang melakukan rapat pemili adalah pada pihak laki-laki pada saat sebelum melakukan resepsi pernikahanya.
Beberapa tahun terakhir rapat pemili tidak hanya diadakan untuk menyambut sinte murip saja. Tradisi ini berkembang untuk membantu sesama seperti pada saat seorang akan membangun rumah dan pada saat seorang anak akan melakukan wisuda (namun masih beberapa tempat atau kampung yang mengadakan rapat pemili untuk wisuda).
Proses rapat pemili ini yaitu dengan mengundang seluruh keluarga dan sanak saudara, serta tetangga. Kemudian salah satu tokoh masyarakat atau yang mengadakan rapat pemili tersebut mengatakan kepada para undangan tentang maksud dan tujuan diadakannya rapat pemili, setelah itu yang berhadir memberi uang seikhlas hati untuk kelancaran proses acara yang diadakan. Kemudian tuan rumah mencatat siapa-siapa saja yang memberi uang dan jumlah uangnya. Agar suatu saat pada saat yang melaksanakan sinte murip bisa diketahui berapa jumlah yang harus diganti. Biasanya diganti sesuai dengan pemberian orang tersebut atau melebihi dari yang pernah diberi.
Lain halnya dengan rapat pemili wisuda, biasanya undangannya berupa amplop yang berisi tulisan “undangan rapat pemili wisuda si polan anak si fulan” kemudian pada saat rapat pemili diadakan uang yang diberi sudah di letakkan di amplop tersebut dan diberikan kepada tuan rumah.
Tidak ada pembedaan antara si kaya dan si miskin dalam melakukan rapat pemili sehingga dalam rapat pemili ada tersirat nilai hablum minannas dalam pelaksanaannya.
M.Hasyim, seorang mukim Gumpang Raya menyebutkan bahwa rapat pemili ini telah banyak membantu sesama di daerah-daerah Gayo khususnya di daerah desa Gumpang karena pada umumnya pekerjaan orang di daerah tersebut adalah petani sehingga pada saat orang yang melakukan acara dengan biaya yang besar rapat pemili adalah solusinya terlebih untuk rapat pemili wisuda karena masih beberapa daerah yang melaksanakan rapat wisuda atau rapat pemili dalam membantu biaya pendidikan lainnya.
Banyak manfaat yang didapat dari rapat pemili ini. Karena dapat menolong sesama dalam meringankan biaya saudara kita yang lain. Seperti yang tertera pada firman Allah :
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al Maidah: 2).
Seperti halnya dalam Islam, adat suku gayo tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, akan tetapi hubungan manusia dengan sesama manusia itu sendiri. Oleh karena itu banyak adat yang mengatur tentang bagaimana mengatur kehidupan dalam menjalankan kehidupan di dunia seperti halnya dengan pepatah “Alang tulung berat bebantu” yaitu salah satu petuah bahwa dalam kehidupan kita harus saling membantu yang masih dipegang teguh oleh masyarakat suku Gayo.

sebuku ken si memude

Sebuku ken si memude

                                    Oleh : Susi Susanti

Ngiku.. Enti olok tu tunung galak ni ate,
Dele len harapen si turah I jangko,
Ngiku... Enti olok tu tunung galak ni ate,
I engon ko mi kul ni ate jema tue,

I tangon ne kao sekolah,
Kati puren mujadi jema si mupaedah,
Alak I baju nge remo basah,
Uten si lues raharih I rukah,
Demi ken anak e kati puren enti we kire susah,

Ngiku... Enti olok tu tunung galak ni ate,
Gijen tamat nge niro minah gergel tete,
Agak mu temas ke minah batang ruang,
Gere le temas minah gergel tete,
Ike tengah sekulah enti mi dele unang,
Gelah pane munimang ate

Gumpang, 10 agustus 2014

curcol "bise pak gecik"

Alhamdulillah akhirnya nyampek juga di medan. Walaupun perjalanan banyak rintangan, mulai di tinggal mobil, di oper ke bus lain, di dalam bus rupanya isinya cowok semua. Anti sama asap rokok rupanya isi penumpang bus perokok semua. Sampai di jeret onom bus lengket sampai beberapa menit di coba akhirnya bisa jalan, bus pun kembali melaju dan sampai di marpunge bus berhenti karna perbatasan longsor lagi,akhirnya kami memutuskan untuk berhenti dan berlanjut nerahi sudere
Jam 10 aku memutuskan tidur disalah satu rumah teman yg kebetulan bus berhenti tepat di depan rumahnya, jam 1 malam kami dibangunkan karna akan berangkat, tapi dibatalkan lagi krna ternyata kendaraan roda 4 tak bisa lewat. Aku kembali ke kamar untuk tidur. Jam 2 malam dibangunkan lagi untuk berangkat dan kami pun segera menaiki bus bersama puluhan bus di depan dan belakang kami.
Setelah bus hendak melewati perbatasan rupanya berita bohong klo roda 4 bisa lewat. Kami pun menunggu beberapa menit dan akhirnya supir kami memutuskan untuk kembali tidur di marpunge.namun supir memberhentikan mobilnya agak jauh dari rumah teman ku..semua penumpang kemudian tertidur di bus, aku merasa tak nyaman tidur di bus karna aku cewek sendiri. Kukumpulkan keberanian dan berlari di tengah gelap gulita menuju rumah teman ku. Walaupun merasa tak enak mengetuk pintu si tengah malam aku tak peduli lagi.
Akhirnya sampai pagi aku tidur di rumah teman dengan lelapnya.
Kamis pagi, kami melanjutkan perjalanan. Bus kami lah yang paling lama berangkat dan mencoba melewati jalan yªnğ telah menjadi sungai yg penuh bebatuan, yup kami berhasil melewatinya.. Tidak sampai disini hambatan perjalan ini. Sesampainya di simpur kami harus bermacet lagi. Karna ada titik longsor disana.. Setelah di bantu oleh pemuda setempat akhirnya kami bisa lewat juga. Bus pun melaju menuju medan dan sesampainya di tiga binanga kami pun mengisi perut yg sudah keroncongan, setelah selesai makan siang kami melanjutkan perjalanan, dan ternyata kami harus merasakan bermacet ria lagi. Kali ini ada apa ??? Dan ternyata ada sebuah Truck terbalik di tengah jalan. Dan hanya sedikit badan jalan yg tersisa.. Namun akhirnya kami bisa lewat dengan waktu tempuh 24 jam dan sampai di medan dengan selamat walaupun harus mengatakan HEEEEKKKK SILONI PAKK GECIIIIIKKK

kemiri



Cerpen : Mepek Kemili

Oleh : Susi Susanti
Pek..pek..pek.. , suara pemecah kemiri tak berhenti beradu dengan kerasnya batu, dengan semangat Inen semah terus memecahkan kemiri untuk memisahkan butir-butir kemiri dari kulit cangkangnya. Suara pecahan kemiri sahut bersahut juga terdengar dari rumah tetangga inen semah.
Sudah menjadi kebiasaan warga setempat melakukan kegiatan memisahkan kemiri dari cangkang kerasnya. Proses ini lebih dikenal dengan “mepek kemili”.
Begitu juga dengan Inen semah, hari itu dia melakukan proses mepek kemili yang sebelumnya telah di jemur selama 6 hari. Kala terik matahari memang biasanya di jemur selama tiga hari. Namun jika musim hujan mengeringkan kemiri bisa melebihi dari batas waktu seperti biasanya . Namun Inen Semah tak pernah menyalahkan alam, dia terus berusaha mencari nafkah dari kemirinya.
Kemiri bagi Inen semah bak butiran mutiara putih yang akan menghasilkan rupiah bagi kebutuhan keluarganya. Kala musim buah kemiri, Inen semah akan sangat senang karna dapat mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membeli kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Pagi hari saat cuaca sangat dingin dan matahari pun seakan enggan memperlihatkan sinarnya,Inen semah mempersiapkan diri menuju kebun kemirinya, berbekal sebuah keranjang, sebilah parang dan beberapa goni, Inen semah menuju kebun dengan langkah kaki begitu semangatnya.
Satu persatu buah kemiri di kumpulkan lalu dia mengupas kulitnya. Tak terasa Inen semah sudah beberapa jam di kebunnya. Jam sudah menunjukan pukul 10.00 WIB namun mentari belum juga muncul, Inen semah lalu melanjutkan pekerjaannya, namun sedang asiknya mengumpulkan kemiri yang  terdiri dari beberapa pohon kemiri terdengar bunyi gelegar yang mengagetkan inen semah di susul dengan rintikan hujan, lalu Inen semah berlari mencari tempat untuk berteduh yang dalam bahasa gayo di sebut “Jamur”. Inen semah melepaskan lelahnya di jamur yang dia buat beberapa bulan lalu. Sambil memandangi rintikan-rintikan hujan yang semakin membahasi bumi.
Hujan belum juga reda, padahal sudah masuk waktu zuhur. Inen semah pun bergegas mengambil wudhu’. Dia mengambil sebilah daun pisang dan menuju sungai kecil tak jauh dari kebunnya.
Dalam tengadah tangannya terbesit seuntai do’a bahwa dia menginginkan hujan yang sedang turun bias membawa berkah bagi bumi dimana dia berpijak. Dan berharap rezeki bisa mengalir dari butir-butir putih bak mutiara yang  sedang di carinya.

Selang beberapa jam hujan pun berhenti, dan karna hari sudah sore Inen Semah pun bergegas untuk pulang dan membawa kemiri yang dia cari. Tidak banyak kemiri yang didapat hari ini namun Inen semah tetap bersyukur karena walaupun kemiri yang didapat sedikit namun masih bisa membuat asap mengepul dari dapurnya.
Malam harinya Inen semah merasa resah, hujan semakin lebat dan suara gelegar pun menambah cekamnya suasana. Inen semah mencoba memejamkan mata walau sulit tapi akhirnya dia bisa memejamkan mata dan tertidur dengan lelapnya.
Subuh hari, di pedesaan tempat Inen semah tinggal terdengar bisik-bisik warga menceritakan tentang derasnya hujan semalam, dan salah satu warga mengatakan bahwa banyak titik-titik longsor dan banjir terjadi di kebun penduduk. Salah satu kebun yang terkena longsor adalah Kebun kemiri milik Inen Semah.
Inen semah pun bergegas menuju kebunnya. Sesampainya di kebun Inen semah sangat sedih memandangi kebunnya. Kebun yang dulu di tumbuhi pohon-pohon kemiri yang berdiri dengan kekarnya kini telah tumbang di terpa tanah dan air serta akar-akar pohon besar bekas banjir semalam.
Pikiran pun berkecamuk dalam pikiran Inen semah dia terus memikirkan kebunnya, memikirkan bagaimana nanti dia memperoleh rupiah untuk membeli kebutuhan keluarganya. Namun akhirnya Inen semah sadar, pasti ada hikmah dibalik semua kejadian. Dia mengkhilaskan yang terjadi pada hari ini.
Sudah beberapa hari tidak terdengar lagi suara khas mepek kemili dari rumah Inen semah. Batu yang biasanya dipakai untuk memecahkan kemiri sudah diletakkan di pojok rumah bersama alat pemecah kemiri. Hanya harapan yang tinggal di benak Inen semah semoga kebunnya bisa kembali bersih dan kembali menjadi ladang rupiah bagi keluarganya.
Ditempat lain, seorang pria bertubuh kekar dengan kulit hitam sedang menjual kayu-kayu hasil dari pohon yang di tebangannya. Dia pun menghitung rupiah-rupiah yang didapatkannya dan memandangi hutan dan tersenyum seakan penuh kemenangan karena telah mengumpulkan banyak rupiah dengan merambah hutan dan menebang pohon penyangga tanah nun jauh di tengah hutan sana.
TAMAT

Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, kejadian dan tempat hanya bersifat kebetulan saja.



Senin, 25 Agustus 2014

Bejamu Saman, seni tradisi perekat silaturahmi

Saman adalah salah satu kesenian yang berkembang di daerah Gayo yang dilakoni oleh laki-laki pada acara-acara tertentu. Banyak manfaat yang didapat melalui saman bagi masyarakat Gayo. Salah satunya adalah pertunjukan saman yang dilakukan pada saat ”bejamu saman” yang sudah menjadi tradisi masyarakat Gayo secara turun temurun.

Bejamu saman adalah salah satu tradisi yang berkembang di masyarakat Gayo. Khususnya pada Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Lukup Serbajadi.

Biasanya waktu yang dipilih untuk melakukan kegiatan ini yaitu pada saat setelah hari-hari besar seperti setelah Hari Raya Idul Fitri, setelah Hari Raya Idul Adha, dan setelah melakukan panen padi.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempererat silaturahmi antara warga satu kampung dengan kampung lain. Karena pada saat melakukan bejamu saman sebujang dan orang tua laki-laki akan mendapatkan serinen (sahabat.red).

Waktu yang dilakukan dalam bejamu saman biasanya dua hari dua malam (saman roa lo roa ingi) dan satu hari satu malam (saman sara lo sara ingi).

Awal dari kegiatan ini biasanya bermula dari perbincangan seberu sebujang di suatu kampung. Kemudian keinginan besaman ini disampaikan kepada tokoh masyarakat yang ada di kampung tersebut melalui mufakat. Jika sudah di dapat kata sepakat maka hal ini disampaikan kepada seluruh sebujang gayo, dan biasanya mereka langsung melakukan latihan saman untuk menyambut kedatangan serinen mereka.

Sembari latihan, ada beberapa pemuda yang ditunjuk untuk mencari ketersediaan suatu kampung untuk menjadi serinen mereka nantinya. Jika suatu kampung tidak menyetujui karena suatu alasan, maka pemuda tersebut langsung mencari Kampung lain. Setelah mendapatkan kesediaan dari suatu kampung maka dilakukan perjanjian dimana dalam perjanjian itu memuat kapan bejamu saman dilakukan, dan mendiskusikan hal-hal yang dirasa perlu.

Saat hari H, Kampung A akan melakukan penyambutan kepada kampung B yang hanya terdiri dari sebujang dan orang tua laki-laki saja. Biasanya penyambutan dengan melakukan didong alo dan pengalungan kalung bunga oleh gadis gayo kampung A kepada tokoh masyarakat Kampung B.

Setelah penyambutan maka seluruh tamu yang datang dibawa ke tempat bejamu saman yang biasa di sebut “bangsalan” yang sebelumnya telah dihiasi seberu sebujang gayo kampung A dengan Rerampe. Biasanya tempat yang dipilih adalah tempat yang luas karena biasanya pada saat bejamu saman, akan banyak datang penonton yang datang dari kampung lain.

Setelah itu, dilakukan pemilihan serinen. Biasanya sebujang A mendatangi sebujang B kemudian serinen mereka di bawa kerumah untuk dijamu dan diperkenalkan pada keluarga. Acara bejamu saman dilanjutkan dengan berkumpul kembali di bangsalan dan acara saman pun kemudian dilakukan yang biasanya pertama kali dilakukan oleh tuan rumah.

Saman ini, hampir sama dengan saman-saman lainnya yaitu dimulai dari salam kemudian memuat syair-syair yang dibawakan oleh penangkat saman. Pada saat saman, biasanya hal yang paling menghibur bagi penonton adalah gerakan tari saman dan sonek yang dilantunkan oleh pengangkat saman. Sonek adalah salah satu jenis sastra gayo yang biasanya berupa pantun, yang biasanya dibawakan setelah lagu pokok atau jangin. Dalam sonek ini, biasanya memuat tentang pesan, pujian, dan sindiran halus.
Setelah kampung yang menjadi tuan rumah melakukan saman, maka setelah itu kampung B melakukan saman juga. Dalam melakukan saman ini tidak ada penentuan siapa yang menang atau kalah.

Penilaian saman hanya dilakukan oleh dari masing-masing penonton saja. Dalam bejamu saman, tak lepas dari keikutsertaan seberu gayo (gadis gayo-red). Biasanya mereka melakukan tarian bines untuk menghibur orang tua dan sebujang dari kampung B. Dan biasanya mereka memanggil sebujang yang datang dengan sebutan “Dengan” atau sebaliknya. Dengan ini merupakan panggilan akrab antar warga Gayo berlawanan jenis.

Pada saat menarikan tarian bines, ada kegiatan yang disebut “najuk” yang merupakan kegiatan pemberian uang kepada seberu gayo yang sedang menarikan tarian bines oleh sebujang Kampung B. Biasanya najuk dilakukan kepada gadis gayo yang disukai atau karena Sonek yang dilantunkan gadis gayo tersebut.

Najuk dilakukan dengan menyelipkan uang pada lidi, kemudian lidi tersebut diselipkan pada sempol gadis gayo tersebut (Sempol adalah jenis Sanggul yang terdapat pada suku gayo). Namun setelah diberlakukannya syariat islam sempol sudah jarang digunakan. Biasanya penari bines memakai jilbab yang dimodifikasi seperti sempol. Bines dilakukan beberapa kali, dan pada saat penampilan bines terakhir. Acara Najuk dilakukan dan diganti dengan bunga yang terselip dikepala gadis tersebut.

Setelah acara bines maupun saman telah selesai. Maka ada acara pembagian selpah dari masing-masing serinen. Selpah adalah pemberian dari serinen kampung A kepada kampung B yang didapat dari masing-masing serinen mereka. Dan ada juga selpah yang diberikan oleh seberu sebujang A yang ditujukan kepada seeberu sebujang di kampung B.

Biasanya selpah berupa makanan khas gayo. Namun seiring waktu berjalan selpah tidak hanya memuat makanan khas gayo akan tetapi bisa juga makanan lain yang diberikan untuk keluarga yang ada dikampung B. Setelah selpah dibagikan, maka acara dilanjutkan dengan pidato dari tokoh masyarakat dan mengucapkan salam perpisahan yang kemudian dilanjutkan dengan acara salam-salaman antara kampung A dan Kampung B.
Selesai.

Pepatah Urum Cerak “Misel” Urang Gayo Tinggal Kenangen

BERBICARA soal sastra lisan, Suku gayo mempunyai banyak ragam sastra lisan termasuk diantaranya adalah sastra lisan berupa pepatah dan kalimat kiasan atau perumpamaan yang biasa disebut cerak misel yang menggambarkan jiwa masyarakat Gayo. Juga, menjadi identitas orang Gayo yang ikut memperkaya khasanah sastra dalam masyarakat Gayo yang merupakan warisan leluhur yang tak ternilai harganya..

Dalam kehidupan sehari –hari pepatah gayo dan cerak misel merupakan kata kata bijak yang bertujuan untuk menjelaskan suatu perkara. Biasanya dalam sebuah pepatah terkandung ajaran atau nasehat yang sangat dalam dan bijak, sehingga untuk mengungkapkan makna pepatah diperlukan ulasan yang panjang. Pepatah tidak seperti puisi yang dikenal siapa penulisnya, Walaupun makna pepatah gayo sangat tinggi, tetapi tidak begitu diketahui asal usulnya, Siapa yang pertama kali yang mengucapkan pepatah tersebut. Untuk memahami makna pepatah yang belum biasa didengar kadang juga tidak gampang, Karena makna Pepatah bisa samar dan tersembunyi. Justru disitulah letak keunikan pepatah dibandingkan dengan kalimat yang biasa.

Pepatah biasanya adalah ajaran tetua tentang kehidupan sehari hari yang di tuturkan secara turun temurun untuk penuntun hidup yang baik dan bijak, masyarakat yang masih kuat memegang adat, biasanya menjadikan pepatah gayo sebagai pedoman hidupnya. Tentu ini khasanah budaya yang luar biasa, dan sangat penting untuk dilestarikan, karna dengan semakin seringnya di tulis atau diucapkan yang dipergunakan dalam alat komunikasi untuk menyampaikan suatu misi, maka pepatah gayo tidak akan patah oleh perkembangan jaman. Terlebih lagi bila dipegang teguh makna pepatahnya. Masyarakat yang mengamalkan ajaran pepatah para tetua sama dengan melestarikan budaya dengan baik.Karena bagaimanapun setiap pesan yang bermakna akan jauh lebih berarti jika pesan itu di ikuti atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari.

Begitu juga dengan cerak misel merupakan kata kata perumpamaan yang dipakai untuk memberi rasa keindahan dan penekanan pada pentingnya hal yang disampaikan. Dengan cerak misel ini apabila kata kata yang akan disampaikan walaupun bersifat kritik yang tajam sekalipun, akan terasa lembut.

Dalam konteks kehidupan sekarang ini, pepatah gayo dan cerak misel sudah jarang digunakan.Padahal,kandungan maknanya sangat dalam dan indah,dan suatu tujuan, saran yang disampaikan akan dapat diterima oleh seseorang. Dan penggunaan pepatah dalam berbicara akan terkesan memberi kita gambaran tentang cara santun dalam berbahasa.

Sekarang timbul pertanyaan,Mengapa pepatah dan cerak bermingsel itu sudah luntur dan nge dabuh taring kenangen?  Itu dikarenakan keadaan kita sekarang ini tidak lagi sama dengan jaman-jaman tetua kita dahulu. Kita sekarang ini, diomongi secara keras dan kasar saja masih belum mengerti, apalagi dengan sindiran halus. Jaman sekarang penyampaian pesan sering menggunakan kata yang vulgar, langsung, tidak menggunakan perumpamaan, dan mengatakan bahwa cerak misel itu sulit dimengerti karena berbelit belit. Seperti yang terkandung dalam pepatah gayo ini “Urum lemut ko gi remang,Urum gersang ko gi nerime “.

Padahal dengan mempergunakan cerak misel dalam kehidupan sehari-hari seseorang akan terkesan santun dan berbudi pekerti. Sebagaimana para tetua kita mengajarkan kita untuk berbahasa yang baik dan sopan yang tersirat dalam pepatah berikut :

Remalan gelah bertungket
Becerak gelah berabun.

Semakin hari semakin banyak kekayaan budaya kita yang hilang dikarenakan sedikitnya  generasi penerus yang mau melestarikannya, memang tak dapat dipungkiri, banyak hal yang dapat meruntuhkan sastra lisan suku gayo termasuk salah satunya adalah karena pernikahan beda suku. Sugiyono, seorang pakar bahasa mengatakan “Urbanisasi dan perkawinan antar etnis merupakan penyebab utama terancam punahnya ratusan bahasa daerah. Karena kalau dua orang dari daerah kemudian pindah ke Ibukota atau ke kota besar maka mereka akan berinteraksi dengan etnis lain, lalu bahasa etnisnya sendiri itu akan ditinggalkan. Mereka akan memilih bahasa Indonesia sebagai penghubung antar etnik satu dengan etnik yang lain.”

Banyak hal yang dapat meruntuhkan cerak minsel tersebut, hal itu diperparah dengan banyaknya anak muda yang lebih senang menggunakan bahasa gaul. Padahal bahasa gaul ini, bagi sebagian orang sangat sukar dipahami artinya,karena menggunakan ejaan yang aneh. Tentu ini menjadi sesuatu yang amat memprihatinkan. Padahal penggunaan pepatah dan cerak misel dapat menjadi sarana yang efektif dalam menyampaikan suatu pesan baik berupa pujian, sanjungan, motivasi, sindiran dan bahkan keluh kesah sekalipun.

Sebelum Pepatah Gayo dan cerak bermisel itu hilang, ada baiknya kita sebagai generasi gayo mau melestarikannya.
Ike Ume kite melestarikan Kebudayaan Gayo, nta sahan mi?
Ike Gere silo kite bueten, Nta selohan mi?

Usaha yang mungkin dilakukan untuk mempertahankan pepatah gayo dan cerak bermisel dapat dilakukam dengan cara mempelajari, dan menimbulkan rasa senang,bahagia dan rasa ingin melestarikan budaya kita, dan terus berlatih, dan aplikasikan dalam kehidupan sehari hari misalnya dengan berkomunikasi antar anggota keluarga dan teman teman sehingga cerak misel itu tidak hilang dan ada baiknya,Untuk Pemerintah Gayo dapat memasukkan pembelajaran pepatah gayo dan cerak misel itu  dalam kurikulum sekolah.

Seberu Gayo

SEBERU GAYO

SEBERU (Gadis-red) Gayo adalah sebutan untuk para gadis di dataran tinggi Gayo, khususnya di Kabupaten Gayo Lues, sementara di Aceh Tengah dan Bener Meriah biasa disebut “beru” dan jika lebih dari satu orang disebut “beberu”.

Tata kehidupan masyarakat Gayo hampir sama dengan suku-suku bangsa lain di Indonesia dan Melayu umumnya yang menganut ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dan adat suku Gayo sangat khusus memagari sikap atau tatakrama bergaul dan berkomunikasi untuk Seberu.

Pada dasarnya dalam budaya Gayo, Seberu dibekali dengan Peri Mestike (kata Petuah-red) diantaranya :

Remalan Gere Begerdak,
Mujangko Gere Munyintak,
Ike bebuet we si Galak,
Becerak Gere Sergak urum Mubak.

Dari petuah Gayo ini jelas menggambarkan bahwa gadis Gayo di tuntut untuk tidak bertingkah laku sesuka hatinya, mesti sopan santun, lemah lembut, tidak cerewet, memberi dengan keikhlasan, rajin melakukan pekerjaan sesuai kodratnya sebagai Seberu.

Seberu Gayo juga dituntut untuk belajar  mandiri dan hemat, karna nantinya akan menjadi istri dan ibu dalam sebuah keluarga sehingga otomatis harus bisa me-manage keuangan keluarga demi tercapai sebuah keinginan keluarga yang tertuang dalam Peri Mestike Gayo “Inget -inget tengah gilen kona, hemat jimet tengah ara”, maksudnya, berhati-hati sebelum sesuatu akan terjadi, dan berhemat selagi waktu ada.

Tindakan dan perbuatan yang hendak dilakukan harus di pikir lebih dahulu baik-baik tentang untung ruginya, dan begitu pula pada waktu seseorang memiliki harta benda supaya tidak memboroskannya, tetapi mengaturnya sedemikian rupa agar harta itu dapat dipergunakan untuk menyambung hidup. Karna suatu saat, ada sebagian Seberu Gayo setelah menikah nanti akan merasakan hidup “Jawe” yang berarti hidup berumah tangga tanpa adanya sangkutpaut lagi dengan orangtua ataupun mertua, kecuali dengan suaminya.
Seberu Gayo. (Foto : Khalis)

Seberu Gayo. (Foto : Khalis)

Setelah menjadi istri, Seberu Gayo juga diajarkan untuk bisa menjaga kehormatannya, hal ini tertuang dalam Peri Mestike Gayo “Beret ni malu atan batang ruang, Beret ni reje atan astana”, yang bermakna kehormatan dan wibawa seorang wanita berada dalam rumah tangga, sedangkan kehormatan dan wibawa Raja berada dalam istana.

Wanita itu dijunjung tinggi dan dimuliakan di rumah. Dalam arti lain bahwa wanita itu adalah mulia jika ia tidak suka bertandang secara berlebihan. Karena bertandang ke rumah orang lain dapat mempergunjingkan seseorang. Namun tidak berarti jika niatnya untuk silaturrahmi.

Selain itu, Seberu Gayo harus juga belajar untuk menjadi panutan dan tempat pelindung yang tertuang dalam Peri Mestika “Uren ipayungi, gelep isuluhi”, maksudnya memberikan perlindungan dan tuntunan kepada seseorang. Misalnya, terhadap anak yang tinggal dalam sebuah keluarga. la jangan dihardik, tetapi dilindungi dan tuntunlah anak itu ke jalan yang benar.

Namun dari semua sifat yang dijelaskan diatas, sifat berbakti kepada orang tua adalah sifat yang paling harus dilakukan oleh Seberu Gayo. Sebagaimana yang diucapkan oleh tetua Gayo “Ike tunung ko kase ling ni jema tue, InsyaAllah langitmu gere mu gegur. Bumi mu gere mu guncang”.

Orang yang memperhatikan dengan cermat ayat Al-Quran maupun hadits akan mendapati begitu banyaknya dalil yang menjelaskan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh perempuan khususnya oleh Seberu Gayo dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun hubungannya dengan orang lain.

Semua nasehat tersebut akan memberikan rambu-rambu yang mengantarkan pada kehidupan yang terarah dan seimbang. Sehingga Seberu Gayo mendapatkan kepribadiannya yang istimewa. Kepribadian yang sejalan dengan fitrahnya sebagai Seberu Gayo. Sehingga melahirkan Seberu Gayo yang unggul, mulia dan istimewa dalam perasaan, pemikiran, prilaku dan hubungan yang baik dengan orang lain.

Semoga kedepannya kita bisa belajar menjadi Seberu Gayo seperti Petuah Tetua kita. menjadi Seberu yang tidak lupa terhadap adat yang diajarkan dan senantiasa mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari- hari sebagaimana kata Tetua “Edet Mungenal Hukum Mubeza, Kuet Edet Muperala Agama”.