Jumat, 07 November 2014

kemiri



Cerpen : Mepek Kemili

Oleh : Susi Susanti
Pek..pek..pek.. , suara pemecah kemiri tak berhenti beradu dengan kerasnya batu, dengan semangat Inen semah terus memecahkan kemiri untuk memisahkan butir-butir kemiri dari kulit cangkangnya. Suara pecahan kemiri sahut bersahut juga terdengar dari rumah tetangga inen semah.
Sudah menjadi kebiasaan warga setempat melakukan kegiatan memisahkan kemiri dari cangkang kerasnya. Proses ini lebih dikenal dengan “mepek kemili”.
Begitu juga dengan Inen semah, hari itu dia melakukan proses mepek kemili yang sebelumnya telah di jemur selama 6 hari. Kala terik matahari memang biasanya di jemur selama tiga hari. Namun jika musim hujan mengeringkan kemiri bisa melebihi dari batas waktu seperti biasanya . Namun Inen Semah tak pernah menyalahkan alam, dia terus berusaha mencari nafkah dari kemirinya.
Kemiri bagi Inen semah bak butiran mutiara putih yang akan menghasilkan rupiah bagi kebutuhan keluarganya. Kala musim buah kemiri, Inen semah akan sangat senang karna dapat mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membeli kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Pagi hari saat cuaca sangat dingin dan matahari pun seakan enggan memperlihatkan sinarnya,Inen semah mempersiapkan diri menuju kebun kemirinya, berbekal sebuah keranjang, sebilah parang dan beberapa goni, Inen semah menuju kebun dengan langkah kaki begitu semangatnya.
Satu persatu buah kemiri di kumpulkan lalu dia mengupas kulitnya. Tak terasa Inen semah sudah beberapa jam di kebunnya. Jam sudah menunjukan pukul 10.00 WIB namun mentari belum juga muncul, Inen semah lalu melanjutkan pekerjaannya, namun sedang asiknya mengumpulkan kemiri yang  terdiri dari beberapa pohon kemiri terdengar bunyi gelegar yang mengagetkan inen semah di susul dengan rintikan hujan, lalu Inen semah berlari mencari tempat untuk berteduh yang dalam bahasa gayo di sebut “Jamur”. Inen semah melepaskan lelahnya di jamur yang dia buat beberapa bulan lalu. Sambil memandangi rintikan-rintikan hujan yang semakin membahasi bumi.
Hujan belum juga reda, padahal sudah masuk waktu zuhur. Inen semah pun bergegas mengambil wudhu’. Dia mengambil sebilah daun pisang dan menuju sungai kecil tak jauh dari kebunnya.
Dalam tengadah tangannya terbesit seuntai do’a bahwa dia menginginkan hujan yang sedang turun bias membawa berkah bagi bumi dimana dia berpijak. Dan berharap rezeki bisa mengalir dari butir-butir putih bak mutiara yang  sedang di carinya.

Selang beberapa jam hujan pun berhenti, dan karna hari sudah sore Inen Semah pun bergegas untuk pulang dan membawa kemiri yang dia cari. Tidak banyak kemiri yang didapat hari ini namun Inen semah tetap bersyukur karena walaupun kemiri yang didapat sedikit namun masih bisa membuat asap mengepul dari dapurnya.
Malam harinya Inen semah merasa resah, hujan semakin lebat dan suara gelegar pun menambah cekamnya suasana. Inen semah mencoba memejamkan mata walau sulit tapi akhirnya dia bisa memejamkan mata dan tertidur dengan lelapnya.
Subuh hari, di pedesaan tempat Inen semah tinggal terdengar bisik-bisik warga menceritakan tentang derasnya hujan semalam, dan salah satu warga mengatakan bahwa banyak titik-titik longsor dan banjir terjadi di kebun penduduk. Salah satu kebun yang terkena longsor adalah Kebun kemiri milik Inen Semah.
Inen semah pun bergegas menuju kebunnya. Sesampainya di kebun Inen semah sangat sedih memandangi kebunnya. Kebun yang dulu di tumbuhi pohon-pohon kemiri yang berdiri dengan kekarnya kini telah tumbang di terpa tanah dan air serta akar-akar pohon besar bekas banjir semalam.
Pikiran pun berkecamuk dalam pikiran Inen semah dia terus memikirkan kebunnya, memikirkan bagaimana nanti dia memperoleh rupiah untuk membeli kebutuhan keluarganya. Namun akhirnya Inen semah sadar, pasti ada hikmah dibalik semua kejadian. Dia mengkhilaskan yang terjadi pada hari ini.
Sudah beberapa hari tidak terdengar lagi suara khas mepek kemili dari rumah Inen semah. Batu yang biasanya dipakai untuk memecahkan kemiri sudah diletakkan di pojok rumah bersama alat pemecah kemiri. Hanya harapan yang tinggal di benak Inen semah semoga kebunnya bisa kembali bersih dan kembali menjadi ladang rupiah bagi keluarganya.
Ditempat lain, seorang pria bertubuh kekar dengan kulit hitam sedang menjual kayu-kayu hasil dari pohon yang di tebangannya. Dia pun menghitung rupiah-rupiah yang didapatkannya dan memandangi hutan dan tersenyum seakan penuh kemenangan karena telah mengumpulkan banyak rupiah dengan merambah hutan dan menebang pohon penyangga tanah nun jauh di tengah hutan sana.
TAMAT

Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, kejadian dan tempat hanya bersifat kebetulan saja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar